Gender dan Perikanan di Indonesia

Solidaritas Perempuan Anging Mammiri South Sulawesi & Transnational Institute

Pendahuluan

Masyarakat komunitas pesisir di seluruh dunia mendasarkan identitas budaya dan nafkah ekonomi mereka pada penangkapan ikan. Kegiatan yang berlangsung di atas perahu cenderung menjadi gambaran utama yang terlintas dalam pikiran ketika kita berpikir tentang penangkapan ikan. Cara pandang tersebut juga menjadi pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki. Namun, selain perempuan yang pergi melaut untuk menangkap ikan, ada banyak tugas sebelum dan sesudah kegiatan penangkapan ikan yang utamanya dilakukan oleh perempuan, yang menopang ekonomi perikanan lokal. Dari memperbaiki jaring dan peralatan tangkap, menjaga pembukuan, menjaga anak dan pelatihan kerja hingga pedagangan, perempuan menduduki peran yang beragam dan penting dalam kegiatan perikanan di seluruh dunia. Kontribusi ini penting untuk menopang rumah tangga, dan memastikan akses ke pangan sehat untuk keluarga nelayan. Dan nelayan skala kecil yang kebanyakan menjual ke pasar lokal menyediakan sumber protein utama bagi jutaan orang secara global. Terlihat dengan cara ini, komunitas masyarakat nelayan memainkan peran penting dalam sistem pangan sehat dan penentuan keputusan terhadap ikan yang di tangkap di tingkat lokal: mana yang akan ditangkap, dan mana yang dibiarkan tetap berada di dalam perairab, peralatan yang digunakan, mana yang akan dikeringkan dan mana yang harus dibiarkan segar, di pasar mana untuk membeli sesuatu, dan resep apa untuk menyiapkan semua komponen penting dari kedaulatan pangan,1 dan perempuan terkhusus, secara teratur memutuskan dan menjaga kegiatan tersebut berjalan.

Perempuan memproses ikan untuk makan siang. Kredit foto: Zoe W Brent

Di Indonesia, sebuag negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, penangkapan ikan adalah cara hidup bagi lebih dari 6 juta orang dan sekitar 85-90% dari total hasil tangkapan disediakan oleh nelayan skala kecil.2 Namun proyek infrastruktur berskala besar atas nama Revolusi Biru milik presiden Jokowi, yang berupaya membingkai negara itu sebagai ‘Poros Maritim Dunia’ memberi kesulitan pada komunitas masyarakat nelayan dan merusak kedaulatan pangan di tempat tersebut. Didorong oleh penataan ulang secara total ruang laut di bawah bendera “perencanaan ruang laut”, pasir dari dasar laut sedang ditambang, dikirim dan ditumpuk untuk menggambar ulang garis pantai Indonesia, membuat ruang untuk pelabuhan baru dan pusat logistik, pengembangan pariwisata dan perumahan kelas atas. Hal ini kemudian mengubah ruang laut ini menjadi daratan garis pantai baru yang disebut sebagai reklamasi. Saat pasir dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, arus laut terganggu, habitat ikan hancur, dan nelayan sendiri tergusur untuk membuka jalan bagi infrastruktur baru yang diposisikan untuk mengintegrasikan wilayah pinggiran Indonesia ke dalam jalur utama perdagangan dan transportasi begitupula untuk meletakkan negara kedalam perdagangan global yang lebih baik.

Situs reklamasi sedang dibangun untuk resor mewah, Pulau Bintan, Indonesia. Kredit foto: Zoe W Brent

Artikel singkat ini mengkaji proses yang terjadi melalui kacamata feminis untuk memahami ancaman dan peluang bagi kedaulatan pangan di komunitas masyarakat nelayan. Berdasarkan penelitian riset aksi3 di komunitas masyarakat nelayan yang terdampak, dan dalam proses mobilisasi yang sedang berlangsung terhadap bentuk logika dan proyek pembangunan skala besar ini, kami berpendapat bahwa perempuan adalah tokoh utama kunci dalam perjuangan untuk kedaulatan pangan dalam perikanan.

Makassar: pusat pelayaran Indonesia yang menggusur perikanan tradisional

Makassar adalah salah satu kota pelabuhan utama, yang diposisikan oleh Jokowi sebagai pusat logistik dan perdagangan utama di Indonesia. Dua proyek utama pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang berlangsung adalah Makassar New Port (MNP, sebuah proyek strategis nasional yang dikelola oleh perusahaan pengelola pelabuhan milik negara, PT Pelindo IV), yang berorientasi pada pengiriman yang diarahkan untuk mereklamasi wilayah perairan dengan luas mencapai 1.428 ha, dan Central Point of Indonesia (CPI, yang dikelola oleh Grup Ciputra dan PT Yasmin Bumi Asri), mengajukan proyek reklamasi dengan luas 156 ha yang ditujukan untuk kepentingan pariwisata. Untuk mencegah protes terhadap CPI, sebuah masjid besar telah dibangun di lokasi tersebut, namun MNP telah menjadi target mobilisasi nelayan dan aliansi yang hingga ini masih berjalan.

Pembangunan MNP menghalangi nelayan dari mengakses dan memasuki daerah penangkapan ikan dan wilayah pesisir sebagai penghidupan kunci masyarakat lokal, sebagai contoh, sekitar desa Tallo, Sengka, Batu dan Buloa. Dalam komunitas tersebut, peran perempuan dalam ekonomi perikanan setempat sangat penting. Salah satu bentuk kegiatan perikanan utama yang hanya dilakukan oleh perempuan: mengumpulkan kerang, kerang lentera (Lingula unguis) dan tiram di pesisir pantai. Yang menunjukkan, perempuan bekerja di seluruh rantai-nilai, dari mengumpulkan kerang, mencuci dan membawanya ke pasar. Mereka juga terlibat dalam kegiatan pasca-panen dari perikanan tangkap berbasis perahu yang dilakukan terutama oleh para lelaki dengan menggunakan alat perangkap untuk menangkap kepiting. Perempuan seringkali juga mencuci dan menjual kepiting. Mereka juga mengeringkan ikan dan udang, tetapi sekarang tidak memiliki akses ke bahan baku dan dibiarkan tanpa sumber pendapatan penting ini.

Pembangunan MNP, yang dimulai pada tahun 2017, telah tertulis dalam rencana tata ruang laut, yang disetujui dengan konsultasi yang minim dari nelayan, meskipun prosesnya dijanjikan untuk partisipatif. Pembangunan bangunan struktur di laut telah menghasilkan polusi di perairan pantai dan meningkatnya lumpur dan erosi pantai karena gelombang yang membawa partikel yang lebih besar dari reklamasi yang berarti bahwa para nelayan harus pergi lebih jauh untuk menangkap ikan. Sebelum pembangunan MNP dimulai, nelayan dengan perahu menggunakan sekitar 1,5 liter sehari, sekarang mereka menggunakan antara 5 dan 10 liter, dan menangkap lebih sedikit ikan. Mereka memakan ikan dan juga menjualnya. Mereka menggunakan uang yang didapat untuk membayar bensin minyak, pangan untuk rumah tangga, sekolah dan biaya rumah sakit untuk keluarga. Sebelumnya mereka dapat menghasilkan antara Rp. 300.000 – Rp. 1 juta per hari, tetapi sejak reklamasi mereka tidak menghasilkan lebih dari Rp. 100.000, – per hari.

Dampak terhadap gender dari pembangunan infrastruktur

Sementara laki-laki dan perempuan sama-sama terkena dampak negatif dan terusir dari tempat mereka menangkap ikan dan mengumpulkan kerang, perempuan khususnya menanggung beban dari berbagai akibat lainnya. Kita dapat melihat ini dalam hal peran produktif perempuan (kegiatan yang menghasilkan pendapatan, peluang kesempatan kerja, pekerjaan berupah), serta keterkaitan terhadap peran mereka dalam reproduksi sosial (yang dapat dibagi menjadi dua kategori: pekerjaan rumah tangga dan perawatan untuk mereproduksi orang/pekerja dan memastikan reproduksi sistem sosial bagi orang/pekerja tersebut hidup dan tinggal).

Pertama, dalam hal produksi, menurut perempuan nelayan di Tallo, jumlah kerang yang mereka kumpulkan juga berkurang setengah dari dua karung keranjang yang menghasikan sekitar Rp.100.000 – Rp.120.000/hari menjadi satu karung senilai Rp.50,000/hari. Beberapa nelayan telah berhenti menangkap ikan sama sekali, karena mereka tidak lagi memiliki akses ke daerah penangkapan ikan mereka, dan oleh karena itu tidak ada lagi kemungkinan untuk menangkap ikan atau mengumpulkan kerang lagi. Hal ini berarti bahwa para perempuan nelayan dipaksa untuk mencari pekerjaan lain sebagai pekerja pergudangan informal di mana mereka dipekerjakan setiap hari dengan upah Rp.80.000 rupiah/hari.

Situasi serupa dapat diamati di Jakarta dan Surabaya, di mana proyek infrastruktur besar juga memiliki dampak terhadap gender. Fadhilah Trya Wulandari mewawancarai perempuan pengumpul kerang dari komunitas masyarakat Muara Baru dan Kali Baru, dalam konteks proyek NCICD di teluk Jakarta (sebuah tanggul tembok laut yang menutup Teluk Jakarta yang diharapkan untuk menghindari banjir). Dia memperhatikan bahwa perempuan mengalami peningkatan biaya produksi setelah proyek, terutama karena proyek tersebut meningkatkan jarak antara daerah di mana kerang diproses dan daerah di mana mereka dijual.4 Oleh karena itu, biaya transportasi meningkat. Biaya untuk modal juga meningkat karena peralatan yang digunakan untuk mengumpulkan kerang terkena dampak negatif oleh proyek, dan sebagai akibatnya, pemilik tambak budidaya kerang harus mengurangi upah perempuan yang mereka pekerjakan untuk mengganti rugi biaya tersebut.

Secara paralel, perempuan mengalami penurunan pendapatan mereka, karena polusi air mengubah tingkat pertumbuhan kerang dan rata-rata menjadi lebih kecil. Perempuan diupah tergantung pada jumlah berat kilogram kerang yang mereka kumpulkan, jadi semakin kecil kerang, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan satu kilogram.

Untuk meringkasnya, proyek infrastruktur besar memiliki dua dampak langsung pada perempuan pengumpul kerang. Ruang yang diambil oleh infrastruktur meningkatkan biaya produksi dan polusi yang diciptakan oleh proyek mengurangi pendapatan pekerja perikanan.

Kedua dalam hal tugas-tugas reproduksi sosial dalam rumah tangga, dampak keuangan umumnya dipikul oleh perempuan yang secara tradisional dipandang sebagai pengelola keuangan keluarga. Penurunan pendapatan di antara keluarga nelayan berarti peningkatan hutang. Beberapa anak mereka putus sekolah, karena mereka tidak dapat membayar biaya sekolah lagi. Lebih buruk lagi, perkawinan anak dibawah umum (karena depresi ekonomi) semakin sering terjadi sebagai cara untuk mendapatkan mas kawin dan menghilangkan kesulitan keuangan dari keluarga. Secara tradisional perempuan dianggap bertanggung jawab atas pembukuan keuangan rumah tangga sehingga tekanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam situasi yang tidak memungkinkan pada utamanya jatuh di pundak perempuan.

Perahu nelayan Makassar Foto kredit: Thibault Josse

Pada akhirnya saat sumber penghidupan nelayan dirusak, hal tersebut dapat memicu apa yang mungkin dilihat sebagai krisis maskulinitas dalam konteks di mana peran gender patriarki tradisional yang menganggap bahwa laki-laki menghasilkan uang paling banyak. Karena hal ini dianggap mustahil, wawancara dengan pengorganisir komunitas setempat menunjukkan bahwa frustrasi dan tekanan meningkat, seperti halnya kekerasan dalam rumah tangga.

Terakhir, seringkali kerja yang tidak terlihat dan terfeminisasikan berupa mempertahankan kohesi sosial, dan struktur dan norma masyarakat juga terpengaruh. Ada beberapa LSM lokal di sekitar Makassar yang mendorong nelayan untuk mengambil ganti rugi dari pemerintah atas dampak negatif dari MNP. Sayangnya, jumlah yang ditawarkan cukup rendah – sekitar 1 juta rupiah dan ironisnya para perempuan sering tidak dikonsultasikan. Nelayan lainnya langsung menujukkan penolakan ganti rugi. Hal ini menyebabkan tekanan lebih jauh dalam komunitas masyarakat, yang akhirnya harus dikelola oleh perempuan.

Patriarki yang dilembagakan

Organisasi persolidaritasan perempuan, Solidaritas Perempuan berpendapat bahwa proses perencanaan tata ruang laut di Indonesia telah dikembangkan dan diimplementasikan sesuai dengan logika patriarki. “RZWP3K (sebagai rencana tata ruang laut) mengalokasikan ruang untuk berbagai sektor. Siapa yang paling penting dalam proses ini? Beberapa orang akan kalah. Di Indonesia ada prioritas patriarki – proyek besar. Tetapi bagi kami menciptakan lapangan kerja bagi perempuan di komunitas masyarakat nelayan harus menjadi prioritas, tetapi mereka tidak terlihat. Perempuan dibuat menjadi tidak terlihat dan karenanya akan kalah.”5

Jelas tiadanya pengakuan terhadap perempuan dilembagakan oleh negara dan juga di dalam komunitas mereka sendiri. Perempuan terdaftar secara resmi di KTP mereka sebagai istri para nelayan, bukan sebagai nelayan itu sendiri, bahkan jika mereka pergi melaut dan berkontribusi dalam banyak cara bagi ekonomi perikanan setempat. Pilihan berupa dukungan asuransi dan keuangan tidak mengakui perempuan sebagai nelayan, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah. Perempuan harus memiliki akta nikah untuk dapat mewarisi harta benda, dan ini hanya mungkin jika mereka menjadi janda, jika sebaliknya mereka tidak dapat memiliki harta benda. Dan dalam proses konsultasi terbatas yang terjadi dalam pengembangan Rencana Tata Ruang Laut Makassar, perempuan tidak diundang dan tidak dapat memberikan kontribusi mereka karena mereka tidak diakui sebagai pemangku kepentingan. Dalam hukum dikatakan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki. Dengan demikian dalam kata-kata SP, “hukum itu sendiri dan kebijakan khusus terkait perikanan adalah patriarki.”6 Pada saat yang sama, suami mereka dan laki-laki lain di komunitas masyarakat sering mengklaim bahwa perempuan tidak diperlukan dalam proses-proses tersebut. Dengan demikian, perspektif Perempuan nelayan tradisional tidak dipertimbangkan dan kontribusinya dibuat menjadi tidak terlihat. Tetapi dalam kenyataannya apa yang mereka lakukan adalah mendasar untuk penghidupan. “Pelabuhan Baru bukan tentang sumber penghidupan, proyek ini tentang bisnis besar.”7

Dermaga pemancingan, Makassar. Kredit foto Thibault Josse

Logika pembangunan seperti ini memiliki implikasi dampak ekologis yang serius juga. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan oleh Buckingham-Hatfield (2000), “perempuan secara tidak adil dan sepadan dipengaruhi oleh dampak lingkungan yang negatif karena peran sosial dan rumah tangga mereka dan kemungkinan kemiskinan yang lebih besar.”8 Seperti analisis oleh Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan dan Wulandari, kerusakan lingkungan adalah suatu bentuk diskriminasi, bagian dari sistem yang menindas, dilembagakan oleh kebijakan yang memajukan pembangunan infrastruktur skala besar sementara sambil menutup-nutupi pemenuhan hak dan kebutuhan perempuan.

Mobilisasi dan jalan ke depan

Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), dibentuk pada tahun 1992, mendukung mobilisasi gerakan perempuan dan menyediakan pelatihan kepemimpinan feminis melalui 11 kantornya di seluruh Indonesia. Visi dari SP adalah untuk menciptakan tatanan sosial yang demokratis, berdasarkan pada prinsip keadilan, kesadaran ekologis, penghormatan terhadap pluralisme, dalam sistem yang setara mengenai hubungan laki-laki dan perempuan, di mana mereka dapat secara adil berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Di tapak, SP memiliki 76 anggota di Makassar, dan bekerja secara khusus di komunitas masyarakat nelayan yang baru mengnali pembangunan MNP seperti di Tallo. Mereka menggunakan pendidikan populer dan riset-aksi, untuk menganalisis dampak gender di masyarakat Indonesia, dan memperkuat perempuan sehingga mereka dapat melawan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Jenis metodologi penelitian yang mereka gunakan memprioritaskan ruang khusus perempuan dengan berusaha untuk meningkatkan kesadaran tentang apa yang terjadi di komunitas masyarakat dan secara khusus untuk memahami cara pandang perempuan, tanpa laki-laki melanggar batas ruang berbicara perempuan. “Jika kita ingin membuat kelompok kerja, yang penting untuk bekerja dengan lebih mudah, jika wanita berada dalam satu kelompok dengan laki-laki, maka kita tidak akan didengar. Kami membutuhkan kelompok kami sendiri.”9 Kelompok tersebut secara hati-hati mengumpulkan data dan informasi tentang proses pembangunan MNP serta dampak yang timbul untuk memperkuat kerja advokasi. Pertemuan masyarakat yang diselenggarakan dengan cara ini, yang kemudian, membantu untuk mengumpulkan data tentang dampak terhadap gender dari pembangunan infrastruktur besar sementara juga mendukung perempuan dalam mengorganisir dan membangun strategi untuk melawan kebijakan pembangunan infrastruktur besar, yang berakar mendalam pada sistem patriarki.

Nelayan membahas strategi pengorganisasian. Kredit foto: Zoe W Brent

Secara khusus, anggota SP telah menganalisis bagaimana alat kebijakan seperti rencana tata ruang laut (MSP) digunakan oleh pemerintah pusat dan provinsi untuk membenarkan dan melaksanakan proyek infrastruktur besar. Tata ruang laut digambarkan sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan konflik ruang laut, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh laporan terbaru tentang topik ini, bias gender jelas terlihat dalam cara tata ruang laut diimplementasikan di lapangan, mengambil keuntungan dari dinamika budaya dan kelembagaan patriarkal untuk menjaga perempuan berada di luar proses pengambilan keputusan yang kemungkinan akan berdampak besar pada perempuan.

Bentuk penelitian riset-aksi partisipatif ini telah membantu untuk menciptakan kendaraan untuk memobilisasi perempuan nelayan. Di satu sisi, mereka telah memberikan tekanan ke pemerintah dari luar lembaga, mengorganisir beberapa kali protes di depan parlemen daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD), dengan ratusan perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Dan di sisi lain para pemimpin SP telah diundang untuk memberikan pandangan publik di dalam DPRD untuk mendesak dampak gender yang disebabkan oleh MSP.

Pada 2015, “Aliansi Selamatkan Pesisir” dibentuk untuk mendorong litigasi terhadap pembangunan pesisir terhadap proyek CPI. Kerja ini dipimpin oleh Walhi Sulawesi Selatan dan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri bergabung atas nama SP untuk memperkuat peran perempuan akar rumput dalam aliansi tersebut. Kehadiran kuat dari SP di lapangan juga memungkinkan anggotanya untuk menempatkan isu gender sebagai isu sentral dalam koalisi, meningkatkan kesadaran dari Organisasi Non-Pemerintah lain, yang mungkin kurang memahami dan menyadari dinamika gender di tingkat komunitas masyarakat. Upaya ini menempatkan gender di tengah pengorganisasian masyarakat sipil, membantu untuk secara perlahan mengatasi patriarki di dalam organisasi masyarakat sipil serta membawa analisis feminis ke dalam kerja advokasi.

Dampak terhadap Gender dan Kedaulatan Pangan

Nelayan, terutama perempuan, dilemahkan dari kemampuan mereka untuk menangkap ikan, dan mempertahankan kemandirian otonomi mereka dari pekerjaan ini. Dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur skala besar untuk memfasilitasi perdagangan jarak jauh dan pertumbuhan ekonomi nasional, kemandirian otonomi dan kelangsungan hidup masyarakat lokal berada dalam risiko, dan perusakan lingkungan menjadi bentuk diskriminasi lain yang harus dihadapi perempuan setiap hari.

Agenda kedaulatan pangan memberikan kritik terhadap logika yang dikendalikan pengumpulan keuntungan secara global, yang merusak kesehatan ekologis dan sosial dari rakyat yang hidup dan menangkap ikan di tempat-tempat perdagangan global tersebut. Perspektif feminis yang diartikulasikan oleh SP sesuai langgamnya dengan visi kedaulatan pangan, yang menekankan pentingnya memprioritaskan sistem yang menjamin martabat dan kehidupan. Saat pembangunan konstruksi CPI dan MNP berjalan maju, kehidupan seluruh komunitas pesisir terancam. Secara bersamaan, agenda kedaulatan pangan-feminis yang menempatkan hidup dan kegiatan yang menjamin kehidupan seperti produksi pangan di pusat pengambilan keputusan. Analisis kedaulatan pangan yang peka terhadap gender membantu kita memberikan perhatian yang lebih dekat khususnya pada kehidupan dan kebutuhan perempuan dan peran mereka yang beragam dalam sistem pangan, mulai dari produksi pangan hingga penyediaan, di antaranya. Ini menjelaskan perlunya menantang patriarki yang dilembagakan, yang tidak mengakui kontribusi penting ini, begitu pulau patriarki yang terjadi di dalam komunitas masyarakat serta di dalam organisasi masyarakat sipil. Oleh karena itu, fakta bahwa SP adalah bagian dari koalisi dari organisasi masyarakat sipil dan terlibat di dalam dan di luar dari kelembagaan lokal dapat dilihat sebagai keragaman taktik yang diperlukan untuk membongkar dinamika patriarki, dalam lembaga pemerintah, dalam masyarakat sipil dan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Pada saat yang sama, unsur tersebut menyoroti cara-cara di mana produsen pangan skala kecil yang menjaga ekonomi pangan lokal tetap berjalan dan memberi pangan kepada masyarakat yang terpinggirkan, sedang terhimpit-jerat dan terampas demi perdagangan dan investasi global.

Kasus ini juga mengungkap peran ganda penting dari perempuan nelayan. Di satu sisi, produsen pangan sangat penting, mengingat bahwa hasil kerja mereka, benar-benar membuat kita semua tetap hidup. Tetapi perempuan nelayan secara khusus melakukan hal ini serta memperhatikan reproduksi sosial produsen pangan itu sendiri. Oleh karena itu, mereka harus diberi peran yang kuat dalam perjuangan itu sendiri, karena mereka sering terkena dampak berlipat ganda oleh pembangunan infrastruktur besar, seperti yang telah di jelaskan di atas. Peran SP dalam koalisi, dan ruang yang mereka telah ciptakan di dalam dan di luar parlemen lokal berdampak kuat pada penguatan perempuan di komunitas masyarakat, yang sekarang lebih aktif terlibat dalam dan menentang proyek-proyek infrastruktur dan kebijakan yang membenarkan mereka.

Sekolah kepemimpinan feminis SP. Kredit foto: Zoe W Brent

Bagi para pendukung kedaulatan pangan, kebutuhan dan cara pandang atas kehidupan yang menjamin rakyat merupakan hal utama penting untuk memandu arah perubahan. Dengan demikian pekerjaan SP dalam menyediakan ruang untuk memupuk pelatihan dan kepemimpinan feminis bagi kalangan perempuan nelayan sehingga suara dan tuntutan mereka lebih kuat, adalah bagian besar dari upaya membangun kedaulatan pangan.

Contoh dari Makassar hanyalah satu contoh dan kasus serupa dapat diamati di seluruh Indonesia. Solidaritas Perempuan telah menarik pengalaman di Makassar, misalnya untuk menempatkan gender sebagai titik utama dari “Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta”. Memang, seperti yang telah kita lihat, dampak gender dari proyek NCICD Jakarta sangat mirip dengan yang diamati di Makassar, dan pengalaman SP sangat penting bagi unsur bagian feminis dari perjuangan untuk bergerak maju. Seperti juga feminisme dan kepemimpinan perempuan, terutama para perempuan nelayan skala kecil yang berjuang untuk mempertahankan penghidupan dan komunitas mereka, yang berarti penting untuk pembangunan kedaulatan pangan.

Tentang Penulis

Solidaritas Perempuan (SP)

Solidaritas Perempuan (SP) – Women’s Solidarity for Human Rights, merupakan organisasi feminis yang didirikan pada 10 Desember 1990.  Lebih dari 25 tahun, SP bekerja bersama perempuan akar rumput dengan visi  untuk mewujudkan tatanan sosial yang demokratis, berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kesadaran ekologis, menghargai pluralisme dan anti kekerasan yang didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara di mana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi dan politik secara adil.

The Transnational Institute (TNI)

TNI adalah lembaga advokasi dan penelitian internasional yang berkomitmen untuk membangun keadilan, demokrasi dan keberlanjutan bumi. Selama lebih dari 40 tahun. TNI telah banyak bekerja dengan membangun hubungan yang unik dengan gerakan sosial, serta melibatkan para sarjana dan pembuat kebijakan.

Notas

1 “Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya yang dihasilkan melalui metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri. Kedaulatan pangan menempatkan mereka yang memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi makanan di jantung sistem dan kebijakan pangan daripada tuntutan pasar dan korporasi. Kedaulatan pangan membela kepentingan dan dimasukkannya generasi masa depan. Kedaulatan pangan menawarkan strategi untuk melawan dan membongkar rezim korporasi dagang dan rezim pangan saat ini, dan arahan untuk sistem pangan, pertanian, penggembalaan dan perikanan yang ditentukan oleh produsen pangan lokal. Kedaulatan pangan memprioritaskan ekonomi dan pasar lokal maupun nasional serta memberi kuasa kepada petani kecil dan pertanian yang digerakan petani keluarga, perikanan tradisional, penggembalaan yang dipimpin penggembala, dan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berdasarkan kelestarian lingkungan, sosial dan ekonomi. Kedaulatan pangan mendorong perdagangan yang transparan yang menjamin pendapatan yang adil bagi semua orang dan hak-hak konsumen untuk mengendalikan pangan dan gizi mereka. Kedaulatan pangan menjamin bahwa hak untuk menggunakan dan mengelola tanah, wilayah, perairan, benih, ternak, dan keanekaragaman hayati kita berada di tangan kita yang menghasilkan pangan. Kedaulatan pangan menyiratkan hubungan sosial baru yang bebas dari penindasan dan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan, rakyat, kelompok ras tertentu, kelas sosial dan seluruh generasi .” Deklarasi Nyeleni tentang Kedaulatan Pangan, 2007

2 Johnny Langenheim, “Millions of Small Scale Fishers Facing Economic Exclusion,” The Guardian, July 28, 2017, sec. Environment, https://www.theguardian.com/environment/the-coral-triangle/2017/jul/28/millions-of-small-scale-fishers-facing-economic-exclusion.

3 Artikel ini didasarkan pada pengamatan dan wawancara peserta terhadap para perempuan nelayan dari Tallo di Sulawesi Selatan serta dengan para pengorganisir komunitas dari organisasi solidaritas perempuan bernama Solidaritas Perempuan. Kegiatan ini dilakukan selama 2018-19 dalam konteks lokakarya khusus perempuan yang dibentuk untuk mendukung perubahan sosial dan penguatan perempuan dalam menghadapi kebijakan dan norma budaya patriarki. Bagian berikut menjelaskan bagaimana Solidaritas Perempuan melakukan pekerjaan ini di lapangan.

4 Fadhilah Trya Wulandari, “Gender Justice in Green Development: Women in Aquacultures and Coastal Defence Strategy in North Jakarta” (Master of Arts in Development Studies, Den Haag, Belanda, International Institute of Social Studies, 2018).

5 Kurniawaty, A. 2019, catatan lapangan.

6 Kurniawaty, A. 2019, catatan lapangan.

7 Kurniawaty, A. 2019, catatan lapangan.

8 Susan Buckingham-Hatfield, Gender and Environment, Routledge Introductions to Environment Series (Routledge, 2000), Hal. 114.

9 Kurniawaty, A. 2019, catatan lapangan.